Selasa, 06 November 2007

When Reza Loves Wendy, GADIS, 2007

When Reza Loves Wendy

Oleh Be Sukma


Sudah dua hari ini Wendy lebih suka berkurung di dalam kamar daripada ngumpul-ngumpul di living room seperti biasanya. Derai tawanya yang biasa menghiasi seisi rumah seperti lenyap disapu angin.

“Kak Wendyyy…. Telpon tuh!” teriak Faiz sambil nenteng gitar kesayangannya sehabis ngeband dan kebetulan lewat kamar kakaknya yang terkunci rapat dari dalam.

Nggak ada sahutan.

Faiz yang nggak pernah ngikutin berita terakhir karena lebih sering ngeband, langsung mengerutkan kening hingga membuat alis tebalnya seperti hutan rimbun. Hey… ada apa dengan kakakku yang manis ini?

“Kak Wen…!” panggil Faiz sekali lagi.

Tetap gak ada sahutan. Ngejreeeeeng…. Dipetiknya gitarnya keras-keras seperti kebiasaan band boy itu kalo lagi gemes.

Juga gak ada sahutan.

Ngejreeeengg… lagi. Hey… jangan-jangan…. Hih, pikiran buruk lambat laun mendaki di benak Faiz. Ya, jangan-jangan Kak Wendy…. Duobbrr….. baru saja si Faiz mau ngedobrak pintu tiba-tiba bersamaan dengan itu pintu terbuka.

“Apaan?!” sewot wajah manis di depannya begitu menyadari tubuh si band boy hendak merangsek masuk.

“Eh, Kak Wen…” si Faiz jadi tersipu. “Kirain Kak Wen lagi…”

“Lagi apaan?!”

“Nggak ah… nggak jadi,” si Faiz mesem-mesem.

“Eee… dasar pikiran kamu aja yang nggak-nggak….”

“Eh sorry Kak Wen… tadi cuma mo bilangin ada telepon doang kok!”

“Iya, tau!” tubuh si Manis segera beringsut ke ruang tengah.

Faiz cengengesan. “Tauuu sih, dari Kak Reza hihihi… Go where the heart is calling you….,” godanya sambil bersiul.

Si Manis melotot. “Sana, sana, sana!”

Si band boy segera melesat pergi sebelum benda keras menyambar punggungnya.

***

Reza gelisah. Sudah hampir setengah jam dia menunggu telepon diangkat di seberang, tapi tak diangkat-angkat juga. Beberapa menit yang lalu si Faiz, adik sepupunya yang juga sohib nge-band (karena sama-sama hobi musik especially guitar) barusan ngangkat dan memberi tahu kalo kakaknya yang manis itu ada kok, dan memintanya menunggu sebentar untuk dipanggilkan (tentunya disertai godaan-godaan menggelitik yang menjadi kebiasaan anak itu sejak tahu ‘ada sesuatu’ di hati Reza yang sedang mengarah tepat ke jantung hati kakaknya yang manis). Tapi sekarang… sekali lagi Reza melirik jam tangannya sambil menghela napas. Gila, bisa berulat gue di sini nungguin! Ke mana sih tu anak?

“Hallooowww…..?” teriaknya gemas.

Tak ada sahutan.

Tiba-tiba feeling-nya mengatakan cewek itu ada di seberang telepon. Berdiri termangu, dan hanya mendengarkan (berbesar hati dikit gak pa-pa kan? Itung-itung menghibur diri hehehe…).

“Hallo… Wendy,” panggilnya penuh semangat. “Gue tau lo ada di situ. Gue pengen lo tau kalo gue serius, bahkan mungkin seribu rius. Gue nggak main-main dengan apa yang gue rasain. Gue cuma pengen lo tau…en kalo bisa sih hubungan kita gak cuma sekadar….”

Dubrakkk!!!

Reza terkejut mendengar suara telepon dibanting di seberang. Tuh, kan? Bener dugaanku! Cihuiiii… yang penting dia udah denger. Soal gimana nantinya, biar gimana nanti aja. Yang penting dia udah tau… cihuiiii, Reza melonjak-lonjak gembira, sampe nggak sadar kalo si putih, kucing kesayangan si Ajeng adek putrinya semata wayang sedang memelototinya dengan heran dari sisi kaki meja. Reza memelototinya sambil membentak jutek, “Apaan nguping-nguping orang!”

Si putih mengeong lalu beringsut pergi ke kamar tuan putrinya.

***

Hmmm…semua ini gara-gara kemaren malam. Wendy mencorat-coret foto kenangan mereka semasa kanak-kanak yang selalu diselipkannya di diary. Ke depan-depan, no more Reza! Cowok nyebelin itu ngga bakalan lagi menghuni album terindah dalam hidup gue, gerutu hatinya. Gimana ngga nyebelin coba?!

Di pesta ultah cowok itu yang ke-19, di depan seabrek temen-temennya yang ngga kalah nyebelin pula, berani-beraninya cowok itu ngumumin kalo dia pacarnya! Sontak aja semua pada bersorak dan kasi selamat. Helloooow... it’s a silly drama queen, huh? Dan ketika Wendy protes seusai pesta yang diselenggarakan di sebuah cafe itu, Reza malah menanggapinya dengan cool.

”Emang kita pacaran, kan?” ujarnya sok innocent.

”Siapa bilang??” marah Wendy.

”Gue.”

”Elloo ya...,” isi perut Wendy rasanya mau melompat semua, ”ya...mister Reza Al Kahfi is the man of the world! Lo selalu bebas berbuat apa aja semau lo tanpa peduli perasaan orang!”

”Gue peduli ma elo!”

”Halah...” kali ini isi perut Wendy serasa dikocok hingga membuatnya nyaris tertawa sekaligus muntah. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah tegang dan panas, ”Gue bilangin ma elo ya... mulai saat ini gue ngga mau liat muka lo lagi! Gue ngga mau jadi temen lo, apalagi sodara! Biarin aja Papa-Mama-Oom-Tante-Oma-Opa tetap melestarikan warisan garis darah persaudaraan keluarga kita, tapi gue... no way! Gue udah muak ma elo!”

Good...” Reza malah tersenyum lebar melihat high-expression Wendy yang bisa ngalahin akting peraih Oscar itu. ”Kalo kita udah ngga punya hubungan sodara lagi, itu berarti semakin memuluskan status hubungan kita untuk melangkah ke jenjang pacaran...”

Wendy semakin naik pitam. ”Ello ya...” lama ditatapnya mata lebar beralis tebal di hadapannya, sebelum tubuhnya membalik dan melangkah pergi dengan hentakan keras.

Reza berusaha menangkap lengannya, tapi gadis itu menepisnya dengan kasar. ”Gue sayang lo, Wen...”

”Najis!”

”Gue akan selalu sayang lo...”

Tapi Wendy sudah melesat pergi dan menyetop taxi yang kebetulan lewat di depan cafe.

***

Reza kecil memasangkan mahkota rumput dan bunga-bunga di kepala Wendy kecil, lalu anak laki-laki itu mencium pipi Wendy, dan Wendy juga balas mencium pipi gembil Reza. Mereka lantas berjalan beriringan disambut tepuk sorai teman-teman sepermainan. Mereka sedang bermain pengantin-pengantinan, dan Reza-Wendy didaulat sebagai pasangan pengantinnya.... Wendy kecil berlari-lari bersama teman-teman ceweknya dalam sebuah permainan di halaman rumah tetangga yang luas, tiba-tiba ada sekelompok anak-anak cowok berusaha mengganggu mereka. Reza kecil yang melihatnya dari atas loteng, segera berlari turun dan mencegah anak-anak cowok itu. Ketika anak-anak cowok itu melawan, terjadilah adegan perkelahian seru Reza kecil melawan tiga anak cowok yang kemudian dilerai oleh Bang Rio, sepupu mereka yang udah SMU…Reza kecil mengayuh kencang sepeda mininya, sementara di boncengan Wendy kecil berpegangan erat. Mereka sedang mengejar jam pelajaran masuk sekolah yang tinggal sebentar lagi. Tapi malang, di tikungan tiba-tiba mereka terjatuh dan lutut Wendy mengeluarkan darah sambil menangis. Reza segera berlari mencari tensoplast dan setelah luka dibersihkan, ia pun menempelkannya ke lutut Wendy. Sesaat kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan tertatih...

***

Putri terkesima ketika membuka pintu. Wajah di hadapannya bukan lagi wajah yang penuh senyum dengan mata berbintang seperti biasanya. Dan travel bag di sampingnya itu...

”Wen... lo mo ke mana?” tanyanya heran sambil menarik masuk sahabatnya itu.

“Gue terima tawaran volunteer ke Aceh,” sahut Wendy pendek.

”Skolah lo?”

”Gue izin.”

“Astaga, Wen. Lo ‘kan pasti ketinggalan banyak pelajaran.”

“Ini udah keputusan gue, Put. Gue juga dah ngomong ma nyokap-bokap gue. Mereka ngga bisa nahan gue.”

“Ngnghh..,” Putri ragu sejenak, “…karena Reza?”

”Dia udah kebangetan, Put. Sejak kecil gue udah anggap dia bukan cuma sodara, tapi juga sahabat...tapi dia begitu lancang...” suara Wendy berubah serak, membuat Putri menarik kepala sahabatnya itu ke pelukan.

”Udahlah, Wen...”

”Gue kecewa, Put...”

”Ya, gue ngerti... gue pikir ini pasti sulit juga buat dia, tapi seenggaknya dia udah bersikap jujur.”

”Tapi harusnya dia mikir dong. Kami itu sodara, sepupu deket lagi...dan harusnya dia mikir gimana perasaan gue...”

”Ya itulah Reza. Lo pasti udah kenal dia lebih dari siapapun.”

***

Kini udah tiga bulan berlalu. Ia tenggelam dalam kesibukan mengurus para pengungsi, sehingga nyaris tak ada sedikit pun ruang dalam benaknya yang tersisa untuk memikirkan yang sudah lewat. Hmm… Life goes on… dan ia benar-benar melupakan kekecewaan yang pernah menggurati hatinya. Terakhir ia menerima sms dari Reza yang mengabarkan cowok itu diterima masuk kuliah di Akademi Imigrasi Jakarta, tapi karena berkali-kali sms dan panggilan teleponnya tak disahuti, akhirnya cowok itu berhenti dengan sendirinya. Lagi pula kemudian dia sendiri mengganti nomor yang sinyalnya lebih kuat setelah beberapa minggu tiba di Aceh.

Yah, hari-hari bergulir terus. Tapi ia belum juga ngerti gimana semua bisa terjadi dalam hidupnya. Ah…Reza… Wendy tahu kalau perasaan itu sudah lama hadir, karena Wendy bukan nggak bisa membaca sinyal-sinyal yang dikirim cowok itu sejak usia mereka menginjak remaja. Tapi Wendy sungguh nggak bisa mengesampingkan tabu yang mengepung mereka. Apa kata keluarga? Apa kata orang-orang? Sodara sepupuan kok pacaran? Lalu mau dibawa ke mana hubungan mereka? Pernikahan? Olala. Nggak mungkin banget. Jadi lupain aja.

Namun rupanya tidak bagi Reza. Cowok itu tetap gigih mempertahankan cintanya, meski sudah ditolak, dilabrak, bahkan dicuekin abis-abisan. Wendy memang amat kenal perangai sodara sekaligus sahabatnya itu yang tak pernah mau kalah dan menyerah, dan sebetulnya ia pun sayang padanya, sayang banget, namun ia hanya ingin menjaganya sebatas sodara dan sahabat, nggak lebih...

Tapi benarkah? Benarkah ia nggak punya perasaan yang sama dengan cowok itu? Atau hanya karena takut akan tabu? Buktinya, sekian lama ia berpisah dengan cowok itu, namun nggak sedikitpun hatinya ia buka untuk cowok lain. Apakah selama ini ia telah bersikap munafik? Atau ia cuma ingin patuh pada aturan dan nilai-nilai kehormatan keluarga? Ahh...Entahlah, dia sendiri bingung menerjemahkan perasaannya.

“Wen,” tegur Des, teman sekamarnya yang sedang siap-siap mudik ke Medan. Dia memang anak SMU di kota itu. “Bener kamu ngga mau ikut? Di Medan banyak cowok cakep lho!”

Wendy menggeleng. “Nggak, Des. Malas.”

”Hmm…jangan-jangan kamu cuma looks jomblo doang, tapi di Bandung kamu nyimpen harta karun cowok cakep hehehe!”

”Enggaklah,” tampik Wendy. “Aku masih absolutely single kok.”

”Hati-hati, Gibran juga masih absolutely single lho, dan dia juga absolutely charming,” kembali Des memamerkan giginya yang cantik. Gibran adalah mahasiswa kedokteran yang tergabung dalam Palang Merah Internasional, anak Pakistan, dan anak-anak suka menjodoh-jodohkan dengannya.

Gibran is absolutely charming, but he’s not my type.”

“Jadi tipe kamu yang kayak gimana sih?” sebuah pertanyaan usang yang hampir setiap hari dan setiap orang melontarkan padanya.

”Ada deeeh...”

Des akhirnya cuma angkat bahu. ”Oke. Take care ya, Say…sering-sering maen ke posko IRC biar kamu nggak kesepian sendiri.”

“Oke!”

Setelah Des pergi, dengan lemas ia memandang ke luar jendela. Langit Aceh begitu cerah. Hmmm…Pantai Lhoknga adalah tempat yang tepat untuk mengusir galau!

***

Langit serba jingga disaput rona senja yang hangat. Udara pantai menebarkan aroma laut yang khas. Angin bertiup semilir, menerbangkan angan jauh ke seberang. Tatap mata Wendy masih merayap pada pulasan jingga yang menggenangi sekujur langit dan permukaan laut. Kadang ia merasa heran dan takjub. Bagaimana mungkin keindahan yang memesona ini sanggup menelan korban ratusan ribu jiwa dalam sekejap? Ah, itulah kuasa dan rahasiaNya yang cuma Ia yang tahu.

”Lo makin cantik aja di Aceh...”

Refleks wajah Wendy bergerak menoleh mendengar suara yang amat dihapalnya itu. ”Reza??? Elo...elo nyusul gue? Gokil lo ya?”

”Hehehe...” Reza memaerkan senyumnya yang lucu. ”Betewe, masih ngambek nih?”

Bibir Wendy akhirnya mengukir senyum sambil mengangguk lirih. ”Hmmm...dikit.”

”Hehehe...Maapin gue ya. Dulu gue emang kebangetan!”

”It’s oke, Rezz. Gue udah lupain kok.”

“Waktu itu gue cuma pengen jujur dengan apa yang gue rasain.”

”Ya, sekarang gue sadar, harusnya gue hargai kejujuran lo, ngga kayak gue…”

“Gue tau kalo elo juga punya perasaan yang sama.”

“Tapi…”

”Ssst...it’s all over. Waktu dan jarak juga bikin gue banyak mikir. Sekarang kita balik kayak dulu lagi. You are my sister, but it doesn’t mean that I don’t luv you. Ok?

”Oh Rezz...thanks,” serta-merta Wendy menghambur untuk memeluk leher cowok itu. “Lo bikin beban gue jadi berkurang.”

“Berarti lo udah bisa siap-siap balik ke Bandung dong?”

“Gue masih…”

“Atau ada alasan lain yang nahan lo di sini? He?” kerling mata Reza menggodanya.

Wendy tersipu. ”Suer, gue masih harus nyelesaiin sedikit kerjaan.”

”Oke, tapi jangan kelamaan ya, ditanyain Om terus soalnya...” dan tiba-tiba cowok itu seperti diingatkan sesuatu. ”Hmm... gue ada something buat lo...sim salabim!” dengan gaya sulap Reza mengeluarkan sebuah kotak mungil dari saku jaketnya, lantas membukanya di depan Wendy.

”Rezz... elo...?” gadis itu takjub melihat sebuah kalung bunga cantik di hadapannya, persis bentuk bunga penganten-pengantenan sewaktu mereka kecil.

”Mau gue bantu makein?”

Wendy mengangguk-angguk senang. Dan setelah memakaikan, Reza pun berdecak kagum sambil mengacungkan dua jempol. ”Pantes mister Reza Al-Kahfi pernah tergila-gila ma elo.”

Wendy memukul manja lengan Reza. ”Elo emang gokil dan apa adanya, Rezz. Makanya gue sayang ma elo.”

”Ih, najis!” sahut Reza berlagak jijik, menirukan gaya Wendy dulu.

”Apa lo bilang? Gue cubit gembil lo!”

“Huahahaha…!” dan Reza memeluk gadis itu dengan perasaan ringan dan bahagia.

Senja pun melukis senyum.****

Tidak ada komentar: