Senin, 05 November 2007

Ketupat Guy, GADIS, Sept 2007

Ketupat Guy
Cerpen: Be Sukma


Rani duduk gelisah di teras depan. Beberapa menit lagi waktu Maghrib tiba. Itu berarti saat berbuka puasa pun semakin dekat.

Rani kembali melirik jam: 16.48. Hah, ia membanting napas tak sabar. Sosok yang ditunggunya itu belum muncul-muncul juga.

Ia menengok ke jalan. Celingak-celingkuk. Tapi hasilnya tetap nihil. Ditariknya Kompas dari bawah meja. Berita melulu. Malas ah!

Ia mencari-cari majalah Gadis kesayangannya. Nah, ini!

Cewek itu segera menyibak lembaran-lembaran mode art-paper di hadapannya, namun kegelisahan yang melindas-lindas batinya nggak pupus juga.

Ah, Rani mengeluh. Kenapa dia nggak datang ya? Berhalangankah? Atau, adiknya sakit? Atau, ia amat repot karena harus membantu orangtuanya bekerja keras menyongsong Lebaran yang sebentar lagi datang?

Rani masih ingat, sosok itu dikenalnya sepertiga hari yang lalu. Ia adalah pedagang keliling anyaman ketupat. Tubuhnya bagus, atletis. Wajahnya bersih. Sorot matanya tajam, dan jantan. Kulitya coklat, Rani suka. Terutama memang lantaran cowok itu memiliki wajah yang agak beda dengan pedagang keliling yang selama ini Rani kenal.

Ia berbeda dengan mang Bani yang tukang daging, atau mang Udin yang tukang buah, atau Bang Wandi yang tukang bunga. Mereka rata-rata sudah agak tua dan berwajah kurang menarik. Cuma karena hatinya baik dan pandai menghangatkan obrolanlah yang membuat Rani mau aja berhai-hai ramah.

Bang Iman. Itu namanya. Ia lebih muda dan menarik. Membuat Rani senantiasa betah bersamanya. Mungkin karena rasa itu pula yang membuat Rani merengek pada Mama agar menambah koleksi ketupatnya. Tentu saja Mama mengerutkan alis. Setahu beliau, putri semata wayangnya itu bukan pecandu ketupat. Tapi kini?

“Ah, ayolah, Ma. Ditambah, ya?”

Mama akhirnya menarik napas. Tak ada pilihan lain, terpaksa mengangkat bahu. “Terserah Rani ajalah. Asal Rani sanggup ngabisinnya. Ngga boleh ada sisa lho!”

Rani cuma nyengir. Mama nggak pernah tahu kalau ada rasa manis, asem dan asin (kayak nano-nano aja!) di dalam dada sang putri.

“Bang Iman, ntar sore datang lagi ya?”

“Emangnya masih kurang, Non?”

“He-he, Mama minta nambah barang duapuluh ikat.”

Ha?? Astaganaga! Mama yang nguping dari balik terali jendela jadi terlonjok kaget. Apa-apaan nih Rani! Pesan ketupat sebanyak itu. Emangnya mau buka bursa ketupat? Kalo lagi kasmaran, bilang aja terus terang. Apa susahnya, sih? Nggak usah pake alasan bela-beli ketupat segala!

Tapi tentu saja Mama nggak berani mengatakannya. Batas teritorial tetap berlaku. Dan Mama belum ingin kehilangan putri kesayangan cuma lantaran keinginan sang Putri nggak dipenuhi.

Dan sore itu, Rani akhirnya dibiarkan tetap menunggu.

Rani sudah menunggu dua jam lebih, tapi Bang Iman belum nongol-nongol juga.

Diliriknya Guess di pergelangan tangannya.

Busyet! Tigapuluh menit lagi Maghrib!

Namun tiba-tiba…

Rani bersorak dalam hati ketika sesosok tubuh yang sudah dikenalnya tampak menghampiri. Asyiiik! Sang Arjuna dekil itu akhirnya datang juga. Diakuinya, kalau sekilas memang keliatan jelas Bang Iman itu nggak pantas dekat-dekat ma dia. Apalagi sampai berakrab-akrab ria. Namun hanya cewek jeli seperti dialah yang mampu menangkap keistimewaan cowok itu. Bagi Rani, Bang Iman itu nggak ubahnya sepotong intan yang belum digosok. Dan Rani bersedia jadi penggosoknya! Hehehe… J

“Bang Iman kok lama banget!” Rani pura-pura menggerutu. Padahal dalam hati, duuuuh…nggak tahan deh nahan kangen yang segunung.

“Anu, Non…,” Bang Iman bicara terbata, “Bang Iman sibuk banget. Banyak pesanan sih. Maklum, udah deket Lebaran.”

“Hmm, nggak pa-pa, deh. Yang penting Bang Iman nggak lupa aja,” kata Rani sok arif sambil mulai memilih-milih anyaman ketupat di depannya. Tujuan Rani tentu saja bukan itu, tapi biar lebih deket aja sama wajah Bang Iman, lalu menilainya diam-diam. Ah, cowok ini benar-benar nggak pantes banget jadi pedagang kelilig, pikir Rani polos. Kalau dipoles dikit, digosok-gosok dikit, Rani yakin dia bisa ngalahin si Aston Kutcher di Amrik sana.

“Bang Iman ...,” panggil Rani manja ketika serumpun besar kulit ketupat telah berpindah ke pangkuannya.

“Ya?” sahut Bang Iman ramah. Matanya yang bagus itu menatap Rani malu-malu.

“Lebaran besok Bang Iman punya rencana ke mana?”

“Hmm, ke mana, ya?” Bang Iman tampak berpikir bingung. “Kayaknya di rumah aja tuh. Abis… mana ada yang mau beli ketupat kalo udah Lebaran.”

“Gimana … gimana kalo Bang Iman ke sini aja?” tawar Rani.

Bang Iman langsung merunduk risi. “Ah, apa pantes, Non? Bang Iman ‘kan…”

“Ssst! Jangan ngomong gitu ah! Rani nggak suka! Pokoknya Bang Iman dateng ya? Rani tunggu lho …”

“Ah, Non … “

Rani sudah meleset ke dalam membawa duapuluh ikat besar kulit ketupat. Dia nggak butuh persetujuan.

***


Ajeng tertawa ngakak mendengar cerita Rizky, sepupunya yang dianggapnya paling gokil sedunia.

“Jadi dia ngundang lo ke rumahnya besok?” rumpinya via telepon. Dialah sebenarnya yang membocorkan data Rani setelah didesak terus oleh cowok itu.

“Ya,” sahut Rizky. ”Bahkan nadanya kayak maksa gitu …”

Ajeng kembali tertawa. “Itu tandanya dia mulai ‘kena’ ma lo! Hahaha, Bang Iman…will you take me high? I luv u…luv u…luv u…soooo much….mmmhuaah!” goda Ajeng.

Rizky cuma tertawa kecil.

“Tapi gue masih butuh bantuan lo, Jeng, “ ucapnya kemudian.

Ada ide apa lagi neeh?”

“Temenin gue ke rumahnya besok.”

“Ha, ha, ha,. Jadi lo takut sendirian ke sana?”

“Ya enggaklah.”

So?

“Lo ‘kan temen dia.”

“Iya, emang,”

“Nah, seperti nggak tahu aja siapa gue.”

Sesaat kemudian baru Ajeng melepaskan tawanya yang riuh. “Gue ngerti. Gue ngerti sekarang. Hahaha…Dasar kunyuk gokil made in USA lo!“

Rizky memang lagi mudik ke Indonesia. Dia ngambil studi di Amrik sana. Biasa, kalau pul-kam, nggak keren dong kalau nggak dapet cewek barang sebiji. Dan segala cara ditempuhnya. Termasuk bermain sandiwara dengan menyamar jadi tukang jaja keliling anyaman ketupat! Hehehe…

***


“Namanya Rizky, Ran,” Ajeng mulai berpromosi. Saat itu dia udah di dalam mobil bersama Rizky, siap-siap cabut ke rumah Rani. “Pokoknya dijamin halal, deh!”

Rani yang mendengar langsung terkikik. “Kayak indomie aja!”

“Ini lebih dari indomie, Ran. Pokoknya keren deh!”

“Ih, elo! Pantesnya elo tuh jadi salesgirl cowok cakep aja!”

“Gue serius, Ran. Gue akan seret dia ke depan idung lo dalam waktu ngga lebih dari sepuluh menit.”

“Beneran? Please atuh Neng! Rumah gue kan selalu kebuka! Apalagi sekarang Lebaran. Kebeneran lo bisa nyicipin macem-macem. Ada soto, rendang, gudeg, ayam goreng, kalio, ketupat, sambel …Hihihi…Asal lo jangan abisin smua aja. Gue ‘kan tau lo ….”

“Alaaa… Ngaku aja lo lagi promosiin warteg terbaru lo.”

“Ember!” Rani tertawa.

Ajeng lalu mengakhiri rumpian siang itu. “Oke deh. Sepuluh menit lagi ya…” dan telepon pun terputus.

Rani segera nutup hapenya. Lalu bergegas kembali ke teras depan. Aduh, kok blom dateng juga, ya? Ah, Bang Iman pasti datang. Pasti datang, hiburnya sendiri dalam hati. Bang Iman ‘kan orangnya baik. Nggak mungkin nggak datang.

Tapi …

Rani kembali merapikan gaun Lebarannya yang wangi. Saat itu, tiba-tiba Mama muncul dari belakang.

“Belum datang juga temennya, Ran?”

“Blom, Ma.”

“Hidangannya udah siap lho di belakang. Kalau datang ajak aja langsung …”

“Iya, Ma.” Rani sebel karena Mama bisanya cuman ngurus isi perut doang. Padahal masih banyak urusan lain yang bisa dilakuin. Bantuin nunggu, kek. Solider dikit ama kegelisahan putrinya, kek. Ini …

Mendadak sebuah sedan merah masuk pelan ke halaman rumahnya dan berhenti tepat di depan teras. Ajeng! Hah, nenek lampir itu cantik juga kalo pake gaun Lebaran ciamik warna biru. Huh, komplet ma kerudungnya pula. Dan cowok yang menemaninya …

“Hai, Ran! Pa kabar? Met Lebaran ya?” berondong cowok itu begitu dekat.

Bang Iman? Ah, bukan. Bang Iman? Ah, bukan.

“Kenalin , Ran. Nih dia Rizky yang gue ceritain tadi. Lumayan, kan?”

Rani serasa mau pingsan di tempat. Nggak salah lagi. Dia memang Bang Iman! Oh, sandiwara macam apakah ini? Tiba-tiba saja dia ingin memanggil Mama keras-keras.

Heeeeeeeeeeellppppp!!!***

Tidak ada komentar: